Unri. “Terorisme merupakan permasalahan yang dampaknya bisa meliputi skala internasional. Terlebih lagi di daerah yang sering terjadi konflik. Pelaku terorisme menganggap daerah tersebut merupakan lahan subur untuk melakukan aksi-aksi mereka,” Hal ini disampaikan Brigadir Jenderal Polisi Ir Hamli ME, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia pada kuliah umum mahasiswa baru Universitas Riau (Unri) tahun ajaran 2018 2019 di lapangan terbuka di depan komplek kampus Fakultas Pertanian Unri, Senin (27/8).
Sumber: HUMAS Universitas Riau
“Gerakan radikal di Indonesia, seringkali mengatasnamakan agama dan sudah berlangsung sejak abad pertengahan. Dalam kasus terorisme, misalnya. Karena pelakunya seorang muslim, maka timbul stigma di masyarakat bahwa terorisme identik dengan Islam. Namun, sebenarnya stigma tersebut salah sebab Islam tidak mengajarkan demikian. Menurutnya, semua agama pernah dimuati paham radikal dan juga terjadi di seluruh dunia. Bukan hanya menjadi permasalahan nasional, tetapi radikalisme menjadi permasalahan global yang dapat menyengsarakan masyarakat,” tegas Hamli.
Sumber: HUMAS Universitas Riau
“Satu diantara penyebab maraknya paham radikalisme, adalah karena rendahnya kemampuan literasi masyarakat Indonesia. Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OICD), Indonesia berada di urutan ke-43 dalam hal tingkat kemampuan literasi numerik dan pemecahan masalah (problem solving). Sedang menurut UNESCO, Indonesia berada di urutan 60,” ujar Hamli.
Sumber: HUMAS Universitas Riau
Lebih lanjut, Hamli, menjelaskan terorisme menjadi salah satu bentuk gerakan radikal yang baru-baru ini diwujudkan melalui aksi pengeboman di Surabaya, Jawa Timur. Karenanya, Indonesia memiliki lembaga khusus untuk menangani hal-hal yang menyangkut terorisme dan radikalisme. Dua di antaranya yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus Anti Teror (Densus 88). Dalam praktiknya, kedua lembaga tersebut bersinergi demi memberantas terorisme dan radikalisme.
Dalam hal ini BNPT dan Densus 88 tidak dapat bekerja sendiri dalam hal ini membutuhkan dukungan dari instasi terkait seperti perguruan tinggi. Menurutnya, Perguruan Tinggi merupakan tempat yang sangat tepat untuk dapat mencerdaskan generasi bangsa agar mewaspadai tentang bahaya ancaman-ancaman terorisme. “Karena pemuda dan mahasiswa rentan terpapar paham radikalisme. Hal ini dibuktikan, sebagian besar pelaku-pelaku terorisme di Indonesia merupakan seorang pemuda. Oleh karena itu, ujung tombak yang paling tepat untuk melawan terorisme juga adalah pemuda,” imbuhnya.
Senada dengan hal ini, Prof Dr Ir Aras Mulyadi DEA, Unri menolak keras dengan adanya aksi terorisme dan paham radikalisme. “Civitas Akademika Unri diharapkan dapat memilah-milah informasi dengan cerdas dan tidak sembarangan menyebarkan informasi yang belum jelas valid atau tidaknya, serta tidak terlibat aksi terorisme, agar tidak merugikan bagi dirinya sendiri, terlebih lagi dengan maraknya aksi terorisme yang meresahkan bagi seluruh masyarakat saat ini, perlu kita bersikap bijak dalam menyikapi situasi ini.”
“Adapun langkah-langkah antisipasi tindakan terorisme, radikalisme, dan intoleransi, Pertama Unri akan memeperketat pengamanan kampus dan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berprestasi dengan membangun kebersamaan dengan mahasiswa. Kedua, merumuskan kode etik kemahasiswaan dengan disertakan pedoman kegiatan kemahasiswaan, Ketiga, membina kegiatan mahasiswa sesuai tujuan yang positif. Keempat, berkoordinasi dengan seluruh fakultas untuk mengontrol penggunaan fasilitas yang ada pada kampus, serta yang kelima adalah merumuskan revitalisasi materi dalam kurikulum perkuliahan.”
“Kampus sebagai ranah publik mudah dijadikan sasaran teroris untuk menanamkan paham radikalisme ke mahasiswa,” ungkap Aras. Lanjutnya, mahasiswa rawan sekali terhadap radikalisme karena mereka memiliki jiwa muda yang masih ingin mencari jati dirinya. Kedua, mahasiswa cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu. Untuk itu, pihaknya berharap bahwa mahasiswa harus mampu berpikir kritis sehingga dapat memahami persoalan yang ada di masyarakat.
Aras juga menjelaskan penanaman ideologi Pancasila dan pendekatan agama dikampus menjadi faktor penting untuk mencegah masuknya paham radikalisme di kampus. “Tidak hanya sebagai MKU saat ini (Mata Kuliah Umum-red) semata, namun bagaimana implementasinya di dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya.
Sebagai aksi nyata, Aras menambahkan, Unri telah membahas persoalan ini sebagai aksi nyata, dilihat bagaimana permasalahan itu muncul dan upaya apa yang sudah dilakukan. Sebagai tindak lanjut, Unri melakukan revitalisasi mata kuliah dasar seperti kewarganegaraan dan agama. “Mata kuliah yang baik harus mampu menjawab permasalahan yang ada di lingkungan. Mahasiswa sebagai kaum intelektual harus bisa memahami dan ikut mencegah terjadinya masalah tersebut,” ujarnya.
Diakhir kuliah umum ini, Unri juga turut menghadirkan Yudi, seorang mantan pelaku teror yang pernah menjadi bagian dari organisasi terlarang. Ia memberikan testimoni di hadapan para mahasiswa mengenai pengalamannya. Berdasarkan pengalamannya tersebut, ia mengimbau kepada para mahasiswa agar menjauhi pemahaman-pemahaman yang mengarah kepada intoleransi dan merasa paling benar sendiri. Serta jangan suka memvonis sesat di luar kelompok atau pemahamannya. Ia membagikan pengalamannya agar tidak ada lagi pemuda yang terjerumus dalam kegiatan negatif dimaksud. (wendi.foto:roger) ***