Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Equilibrium merupakan satu diantara beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Prinsip-prinsip ekonomi tersebut menjadi kaedah utama yang dijadikan sebagai pilar dari bangunan ekonomi Islam.
Pilar bangunan ekonomi Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Prinsipprinsip ekonomi digunakan sebagai Standard Operating Procedure (SOP) bagi pelaku- pelaku ekonomi yakni: konsumen, produsen, pemerintah, luar negeri, maupun lembaga- lembaga keuangan.
Dalam Islam equilibrium sebagai prinsip ekonomi memiliki arti, tidak terdapatnya ketimpangan antara dua hal yang selalu berpasangan, dalam memenuhi kebutuhan dari berbagai jenis aktivitas kehidupan umat manusia.
Aktivitas kehidupan dapat meraih keberkahan jika menyeimbangkan setiap komponen kehidupan yang selalu berpasangan, diantaranya: material dan spiritual, dunia dan akhirat, siang dan malam, kaya dan miskin, kewajiban dan hak, dan lain sebagainya.
Equilibrium diartikan sebagai suatu keadaan dimana interaksi yang terjadi antara komponen-komponen yang ada didalam aktivitas hidup umat manusia dapat berjalan secara harmonis dan juga berimbang, serta memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan umat manusia.
Equilibrium dalam arti mikro dapat dicontohkan dari aktivitas ekonomi, maka yang dikatakan dengan equilibrium adalah suatu kondisi dimana tidak ada satupun dari pelakupelaku ekonomi mengalami kerugian, atau dikatakan juga sebagai suatu keadaan yang saling ridha (‘antaradhin).
Kondisi inilah dalam Teori Ekonomi Mikro dikatakan sebagai keseimbangan pasar (market equilibrium), yang mewujudkan harga keseimbangan (price equilibrium) dan kuantitas keseimbangan (quantity equilibrium) antara pelaku ekonomi konsumen dan produsen atau dengan istilah lainnya pembeli dan penjual ataupun permintaan (demand) dan penawaran (supply). Tanpa adanya keseimbangan pasar maka harga keseimbangan tidak dapat diwujudkan begitu pula halnya dengan kuantitas keseimbangan.
Equilibrium mengharuskan adanya moralitas, diantaranya (a) Kejujuran (honesty), (b) Keadilan (justice), (c) Keterbukaan (transparancy), dan persaingan yang sehat (fair play). Apabila nilai-nilai ini diimplementasikan maka tidak ada alasan lagi untuk mewujudkan equilibrium.
Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’ad {13} Ayat: 3 yang artinya: Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan (ialah jantan dan betina, pahit dan manis, putih dan hitam, besar kecil dan sebagainya), Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Keberkahan hakiki tidak dapat dipisahkan dari dua kata berpasangan yakni kewajiban dan hak. Kewajiban dan hak sama halnya dengan sekeping mata uang logam tidak bisa dipisahpisahkan.
Apabila keduanya dipisahkan maka proses keberkahan tidak dapat terwujudkan, sehingga keberkahan hakiki akan menjauh dari kehidupan umat manusia. Maka dari itu kewajiban dan hak akan selalu berada dalam kondisi seimbang walaupun tidak diseimbangkan oleh umat manusia, dan kedua hal tersebut akan tetap equilibrium.
Pelaksanaan kewajiban sewajarnyalah dan sepantasnyalah sesuai dengan ketentuan yang sudah digariskan, maka hak yang diterima atas dasar pelaksanaan kewajiban tersebut tentu akan meraih keberkahan hakiki. Sebaliknya pelaksanaan kewajiban tidak sesuai dengan ketentuan sudah digariskan jelas hak yang diterima tidak akan meraih keberkahan hakiki.
Misalnya: dalam melaksanakan kegiatan tri dharma perguruan tinggi seorang dosen mengajar, sudah sepatutnya harus dapat menyesuaikan dengan ketentutan yang sudah ditetapkan, yaitu jika beban mengajar Mata Kuliah dengan bobot 3 (tiga) SKS, maka dosen tersebut wajib melaksanakan tugasnya juga 3 (tiga) SKS yakni 3 kali 50 menit = 150 menit atau 2 jam 30 menit.
Jika jadwal masuk kelas Pukul 07.30 WIB maka tutup kelas adalah Pukul 10.00 WIB,Artinya: jika pelaksanaan kewajiban tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat, niscaya keberkahan hakiki akan kita dapatkan, dan sebaliknya apabila kewajiban tersebut dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, maka disitulah akan terjadinya disequilibrium (ketidak seimbangan antara kewajiban dan hak), sehingga yakinlah Sang Pencipta Allah Azza Wajjallah pasti kembali meng- equilibriumkannya.
Sesungguhnya pernyataan diatas dapat dianalogikan dengan Teori Ekonomi Mikro (Price Theory), dimana harga keseimbangan (price equilibrium) tercipta, “jika dan hanya jika tidak terjadi kelebihan permintaan atau excess demand sama dengan nol”. Hal ini dapat dijabarkan kembali dalam bentuk Model Persamaan Matematika sebagai berikut: QD – QS = 0, atau dapat dimudahkan lagi menjadi QD = QS (jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan).
Persamaan diatas menggambarkan persyaratan untuk pencapaian kondisi equilibrium. Hal ini bermakna pada saat terjadi keseimbangan harga maka kebutuhan konsumen dan produsen sudah dapat terpenuhi. Sebaliknya jika harga keseimbangan (price equilibrium) tidak terwujud (QD QS) maka terdapat dua kemungkinan yakni:
QD > QS berarti, terjadi excess demand Konsumen dengan kerelaannya naik ke kondisi harga keseimbangan.
QD < QS berarti, terjadi excess supply Produsen dengan kerelaannya turun ke kondisi harga keseimbangan.
Kedua kondisi diatas tidak akan bertahan lama, karena berdasarkan Teori EkonomiMikro Konvensional akan diequilibriumkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hand), berupa kerelaan dari konsumen maupun produsen.
Pada saat terjadi excess demand Invisible hand akan berada disisi konsumen, sebaliknya pada saat terjadi excess supply Invisible hand berada disisi produsen. Invisible hand dalam Teori Ekonomi Mikro Islam adalah Sang Pencipta Allah Azza Wajjallah, yang akan mengembalikan keposisi keseimbangan.
Analogi ini sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam melaksanakan kewajiban, dengan kompensasinya berupa hak. Apabila Kewajiban = Hak dapat diartikan hak yang diperoleh akan meraih keberkahan, tetapi sebaliknya jika Kewajiban Hak hal ini terdiri dari dua kemungkinan yaitu:
(1) Kewajiban < Hak = Excess Hak
Maka kelebihan hak sebagai kompensasi dari kewajiban yang tidak penuh/utuh tidak akan meraih berkah. Allah Azza Wajjallah akan menyeimbangkannya kembali dengan cara mengambil kelebihan hak dengan cara-caraNYA, baik secara langsung (directly) maupun tidak langsung (indirectly), didunia maupun diakhirat.
Pengambilan kembali hak yang sudah diperoleh tentunya sesuatu yang tidak diharapkan, apalagi secara tidak langsung, artinya diambil kembali melewati orang-orang yang dicintai (terdekat/ring satu).
Misalnya pasangan hidup (istri/suami) ataupun generasi penerus (anak/cucu). Berbeda halnya jika pengambilan secara langsung kepada yang bersangkutan ini lebih berkeadilan, ketimbang secara tidak langsung (tidak berbuat menanggung resiko/sanksi) berdimensi duniawi, sedangkan dimensi akhirat jelas yang menanggung resiko/sanksi pasti orang bersangkutan.
(2) Kewajiban > Hak = Excess Kewajiban
Maka hak sebagai kompensasi dari kewajiban akan ditambahkan Allah dalam bentuk penambahan bahkan pelipatgandaan berkah, Allah Azza Wajjallah akan menyeimbangkannya dengan menambahkan dan melipatgandakan hak dalam bentuk keberkahan, baik secara langsung (directly) maupun tidak langsung (indirectly), didunia maupun diakhirat.
Inilah yang dikatakan sebagai keberkahan yang hakiki. Hal ini memang sangat sulit diperoleh, karena berkaitan dengan aktivitas-aktivitas lain dalam satu ruang lingkup kerja, antara satu aktivitas dengan aktivitas lain saling berkorelasi/berhubungan dan saling mempengaruhi.
Equilibrium proses keberkahan hakiki, tidak dapat dipisahkan dari dua kata yang berpasangan yakni kewajiban dan hak. Setiap meraih hak seharusnyalah menunaikan kewajiban secara benar, guna meraih keberkahan. Untuk bisa terhindar dari risiko/sanksi maka sepantasnyalah meng-equilibriumkan kewajiban dan hak, dalam arti melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan yang sudah digariskan.
“Wassallam”