Unrinews. Rektor Universitas Riau (UNRI) Prof Dr Sri Indarti SE MSi ikut menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Kerja Pembiayaan Pendidikan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Kamis (27/6/2024) di Ruang Rapat Komisi X DPR RI Gedung Nusantara I, Jakarta.
Dalam rapat dengar pendapat ini, Rektor UNRI menyampaikan dukungannya terkait kebijakan alokasi 20 persen untuk pendidikan, karena ini menyangkut dengan kepatuhan terhadap institusi, meningkatkan kualitas pendidikan, serta pemerataan akses pendidikan.
“Dengan anggaran yang memadai, tentunya menjadi harapan kita semua bahwa semua warga dapat mengakses pendidikan yang layak dan berkualitas tanpa memandang latar belakang ekonomi,” papar Rektor.
Rektor UNRI dalam paparan pendapatnya menyampaikan, terkait kemampuan dan kebutuhan dalam pendidikan, dengan dana yang terbatas, ada beberapa yang dilakukan oleh UNRI diantaranya efisiensi, diversifikasi sumber dana dengan peningkatan kerjasama dengan industri, alumni, program internasional, dan kerjasama dengan pemerintah daerah.
Lebih lanjut, terkait dengan polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi, maka Rektor menyampaikan bahwa UNRI sudah hampir 13 tahun belum pernah menaikkan UKT, sehingga Biaya Kuliah Tunggal (BKT) masing- masing program studi sudah tidak sebanding dengan UKT.
“Begitu ada Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 mengizinkan untuk menyesuaikan Tarif UKT, sesuai dengan template yang juga sudah diberikan oleh Kementerian, maka UNRI juga ikut menghitung dan menyesuaikan BKT yang angkanya bervariasi sesuai fasilitas dan sarana yang dibutuhkan masing-masing Prodi. Maka inilah awal polemik kenaikan UKT yang akhirnya tidak dibenarkan untuk naik,” jelas Sri.
Berkaitan dengan pendapatan UNRI dari UKT, maka lebih dari 80 persen pendapatan UNRI berasal dari UKT mahasiswa. Jika dipersentasikan jumlah BKT UNRI tahun 2023 582 M, dan pendapatan UKT sebesar 192 M, hal ini berarti UKT hanya bisa memenuhi BKT sebesar 33,1 persen saja jika kita mengikuti standar nasional pendidikan tinggi.
Sementara jika dihitung dari rumus alokasi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Non Penelitian, UNRI seharusnya menerima BOPTN lebih besar, namun yang kita terima pada tahun 2023 hanya 59,2 M dari yang dibutuhkan sebesar 193 M atau hanya sebesar 30,5 persen.
Pada RDP ini, Rektor juga memberikan pandangan terkait kontruksi ideal komponen untuk pembiayaan pendidikan tinggi, diantaranya dengan meningkatkan alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan untuk mendukung inovasi dan kualitas pendidikan tinggi.
“Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran pendidikan tinggi dan memastikan bahwa minimal 20 persen dari APBN dan APBD dialokasikan untuk pendidikan. Selain itu, kami juga berharap pemerintah bisa menyediakan subsidi dan beasiswa yang lebih luas dan lebih merata,” harap Rektor UNRI ini.
Selanjutnya, lanjut Rektor, penggunaan anggaran juga harus efektif dan efisien agar bisa mensubsidi biaya pendidikan, terutama bagi siswa atau mahasiswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Upaya untuk mendukung pembiayaan pendidikan selanjutnya adalah melalui Corporate Social Repsonsibility (CSR, Red), karena kerjasama dengan dunia usaha dan industri menjadi salah satu solusi efektif untuk mengatasi mahalnya biaya kuliah, misalnya dengan menyediakan beasiswa, magang, dan dukungan finansial lainnya.
“Terkait CSR, banyak perusahaan yang berdomisili di Provinsi Riau, dan secara perseroan memang sudah ada undang-undangnya. Tetapi kami berharap ada dukungan dengan membuat regulasi khusus untuk perusahaan tentang bantuan pembiayaan pendidikan, sehingga sifatnya tidak hanya sporadis, tetapi sudah tertuang pada regulasi yang dialokasikan untuk pendidikan,” harap Rektor.
Upaya untuk mendukung pembiayaan pendidikan selanjutnya dengan menciptakan peluang sinergi, dengan mengembangkan Prodi dengan pedidikan jarak jauh dan metode hybrid sehingga menambah income serta sebagai upaya untuk pemerataan dan kesempatan pendidikan. Selain itu juga bisa dengan mengembangkan pascasarjana dengan membuka kelas internasional dan kerjasama.
Adapun para Rektor yang dimintakan pendapatnya dalam RDP ini, diantaranya Rektor Universitas Indonesia, Rektor Universitas Hasanuddin, Rektor Universitas Riau, Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, Rektor lnstitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Rektor lnstitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Direktur Politeknik Negeri Semarang, dan Direktur Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang.
Setelah mendengar paparan, masukan, dan saran dari berbagai Rektor pada perguruan tinggi terkait biaya pendidikan, Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI menyampaikan apresiasi atas pandangan yang telah disampaikan. Ucapan terimakasih dan apresiasi disampaikan Dr Dede Yusuf ME ST ML Pol, Pimpinan Panja Pendidikan Komisi X, yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi X DPR RI.
“Hari ini kami telah menerima masukan dari Bapak dan Ibu Rektor semua. Kita paham beban Bapak/Ibu Rektor sebagai penyelenggara pendidikan, dan kita juga paham kalau pemerintah belum berhasil dalam meningkatkan dukungan bantuan untuk pendidikan. Maka dari itu, kami sepakat akan ada reformulasi lagi mengenai dukungan pemerintah terhadap penyelenggara pendidikan. Namun sebagai wakil rakyat, kami konsen terhadap pendidikan ini, jangan sampai anak anak negeri sampai tidak bisa kuliah,” jelas Dede.
Pada akhir rapat dengar pendapat ini, Pimpinan Rapat Panja Pembiayaan Pendidikan kemudian menyampaikan kesimpulan dari pandangan dan masukan dari beberapa Rektor yang menjadi narasumber dalam RDP ini. Diantaranya adalah kebijakan yang mendorong perubahan status PTN Satker dan BLU menjadi PTN Badan Hukum, perlu dikaji kembali berdasarkan kriteria dan kemampuan kemandirian masing-masing perguruan tinggi dalam penggalangan dana (fund raising).
“Kesimpulan RDP pada hari ini juga berkaitan dengan evaluasi terhadap IKU (Indeks Kinerja Utama) yang dibebankan kepada PTN, agar disesuaikan dengan rasionalitas dukungan program dan anggaran yang diberikan. Terkait dengan indikasi bahwa jika PNBP naik maka BOPTN turun, maka perlu adanya kajian kebijakan alokasi berdasarkan rasionalisasi kebutuhan operasional perguruan tinggi dan keterjangkauan/kemampuan mahasiswa,” jelas Dede.
Selanjutnya, perlu meninjau kembali kebijakan perhitungan rerata UKT dengan mempertimbangkan selisih BKT dan UKT yang harus dipenuhi BOPTN, sebagaimana Kepmenristekdikti Nomor 140/M/KPT/2019 Tentang Formula Alokasi dan Penggunaan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri Nonpenelitian.
Pandangan terakhir, yakninya mendorong adanya kolaborasi antara Ditjen Dikti dan Ditjen Kebudayaan dalam mendukung Prodi terkait Kebudayaan, dan mendorong terlaksananya Prodi-Prodi bertaraf Internasional sesuai tuntutan Permendikbud No. 53 Tahun 2003 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. (mukmin. foto: istimewa)***