Unrinews, Suasana di Desa Hangtuah, yang selama ini dikenal sebagai “Kampung Lele”, tampak berbeda Pada Sabtu, (30/08/2025). Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam tim Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) dari Universitas Riau berhasil memperkenalkan inovasi ganda yang berpotensi merevolusi wajah budidaya perikanan setempat. Tidak hanya mengubah limbah ikan menjadi sayuran segar melalui sistem akuaponik, mereka juga memperkenalkan formulasi pakan ikan yang lebih hemat dan bergizi dengan memanfaatkan daun kelor.
Program yang diinisiasi mahasiswa ini secara cerdas menargetkan dua tantangan terbesar peternak lele: kualitas air kolam yang cepat menurun akibat amonia dan biaya pakan pabrikan yang terus melambung. Solusi yang mereka tawarkan bersifat terintegrasi dan berkelanjutan.
Inovasi pertama adalah sistem akuaponik, sebuah model pertanian yang mengubah air limbah kolam lele menjadi pupuk alami untuk tanaman sayur. Tim PPK Ormawa, Ahmad Sayyid Barokah, menjelaskan, “Konsepnya adalah simbiosis mutualisme. Air dari kolam lele yang kaya amonia kami alirkan ke media tanam sayuran. Bakteri baik akan mengubah amonia menjadi nitrat sebagai nutrisi tanaman. Air yang sudah bersih kemudian kembali lagi ke kolam.”
Namun, terobosan tidak berhenti di situ. “Kami melihat biaya pakan mengambil porsi lebih dari 60% total biaya produksi. Untuk itu, kami memperkenalkan inovasi kedua, yaitu pengayaan pakan menggunakan tepung daun kelor,” tambah Ahmad.
Daun kelor (Moringa oleifera), yang tumbuh subur di sekitar desa namun belum dimanfaatkan optimal, dipilih karena kandungan protein, vitamin, dan antioksidannya yang sangat tinggi. Para mahasiswa melatih peternak cara membuat tepung daun kelor secara sederhana, yang kemudian dicampurkan pada pakan pelet komersial dengan perbandingan tertentu. Langkah ini tidak hanya mampu menekan biaya pembelian pakan hingga 20-30%, tetapi juga terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan daya tahan ikan lele terhadap penyakit.
Bapak Selamat, salah seorang peternak lele yang menjadi mitra program, menunjukkan antusiasme yang luar biasa. “Dulu saya pusing mikirin dua hal: buang air kolam dan harga pakan yang naik terus. Sekarang, berkat adik-adik mahasiswa, dua masalah itu jadi solusi. Kotoran ikan jadi pupuk gratis untuk tanam kangkung, dan pengeluaran pakan juga berkurang jauh sejak pakai campuran daun kelor. Ikannya juga terlihat lebih lincah dan sehat,” tuturnya.
Dengan adanya dua inovasi ini, peternak di Desa Hangtuah kini berpotensi mendapatkan panen ganda: ikan lele yang lebih sehat dengan biaya produksi lebih rendah, serta sayuran organik yang bisa dijual atau dikonsumsi sendiri.
Putri Adita Wulandari, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing Lapangan, menyatakan kebanggaannya. Menurutnya, program ini adalah contoh sempurna bagaimana dunia akademis dapat memberikan dampak langsung.
“Ini adalah wujud konkret dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mahasiswa tidak hanya menerapkan ilmu akuakultur dan bioteknologi, tetapi juga belajar aspek sosial-ekonomi masyarakat. Mereka berhasil mengidentifikasi masalah, merancang solusi ganda yang saling melengkapi, dan memastikan teknologi ini mudah diadopsi oleh masyarakat,” tegasnya.
Peresmian dan pelatihan pada 14 Agustus 2025 ini menjadi tonggak sejarah bagi Desa Hangtuah. Dengan sistem akuaponik dan pakan alternatif daun kelor, desa ini diproyeksikan tidak hanya menjadi sentra lele yang produktif, tetapi juga sebagai desa percontohan agroteknologi mandiri yang menginspirasi daerah lainnya.***





