unri.ac.id Era reformasi dalam konteks relasi hubungan pusat dan daerah, untuk pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sangat ditentukan oleh karakteristik rezim pemerintahan yang berkuasa dalam kaitannya dengan semangat untuk menjalankan desentralisasi secara total.
Dr Mexsasai Indra SH MH Wakil Rektor Bidang Akademik dalam orasi ilmiahnya berjudul “Gagasan Pemekaran Daerah Serentak di Indonesia” disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Riau, dalam rangka Dies Natalis Ke-61 Wisuda Program Pascasarjana Ke-55, Program Profesi Ke-49, Program Sarjana Ke-118, dan Program Diploma Ke-59. Rabu, (4/10/2023) di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Kampus Patimura Universitas Riau (UNRI).
Restrukturisasi pemerintahan daerah yang memberikan keleluasaan yang besar kepada pemerintah daerah dalam menjalankan berbagai kewenangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah, telah menimbulkan banyak implikasi. Diantaranya implikasi yang sampai saat ini terus berlangsung, adalah munculnya keinginan dari berbagai daerah baik di tingkat Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota untuk memekarkan daerahnya dan gejala ini hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Melihat perkembangan dan pertumbuhan pemekaran daerah sebelum dan setelah desentralisasi tahun 1999, dimana sebelum desentralisasi terdapat 26 provinsi 234 kabupaten dan 59 kota di Indonesia, setelah desentralisasi jumlah provinsi meningkat menjadi 34 dan kabupaten meningkat menjadi 415 serta kota menjadi 93,” ujar Mexsasai.
Kebijakan desentralisasi yang diterapkan pada tahun 1999 bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah di Indonesia. “Demikianlah, hal ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan mengurangi praktek sentralisasi kekuasaan di ibukota negara,” ujarnya.
“Penambahan jumlah provinsi, kabupaten, dan kota tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kualitas pelayanan publik dan pembangunan daerah. Diperlukan juga peningkatan sumber daya manusia, efektivitas dan efisiensi pengelolaan anggaran daerah, serta keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan daerah untuk mencapai tujuan desentralisasi yang diharapkan.
Meskipun prinsip pemekaran daerah yang saat ini berlaku di Indonesia adalah prinsip bottom-up, namun masih terdapat beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan terkait dengan prinsip ini. Beberapa permasalahan tersebut antara lain, ketidakmerataan dalam partisipasi masyarakat, keterbatasan sumber daya, dan Potensi konflik.
“Melalui hal tersebut, pemekaran daerah di Indonesia memiliki dampak negatif yang perlu diperhatikan. Konflik antar wilayah, penurunan penduduk dan pendapatan asli daerah, serta pembebasan pada wilayah utama menjadi beberapa contoh dampak negatif yang sering terjadi,” ujarnya.
Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut, jelas Mexsasai, perlu adanya perencanaan yang matang dan terkoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Konsep perubahan paradigma pemekaran daerah yang bersifat top-down dengan mekanisme serentak perlu menjadi pertimbangan pemerintah.
“Secara filosofis, pemekaran daerah seharusnya dilakukan dengan tujuan untuk menata daerah dan memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah, seperti peningkatan kesejahteraan rakyat, pengembangan demokrasi lokal, peningkatan akses masyarakat terhadap pemerintahan, pelayanan publik yang lebih,” urainya. (wendi. foto: m. rizki, januardi) ***